Al-Haur ba’da al-Kaur
Mengapa Hatiku Menjadi Keras…?
Abu Abdirrahman Ibrahim bin Abdullah al-Mazaru’i
Sesungguhnya fenomena berpaling dari komitmen pada agama ini sungguh telah menyebar di kalangan kaum muslimin. Berapa banyak manusia mengeluh akan kerasnya hati setelah sebelumnya tentram dengan berdzikir pada Allah, dan taat kepada-Nya. Dan berapa banyak dari orang-orang yang dulu beriltizam (komitmen pada agama) berkata, “Tidak aku temukan lezatnya ibadah sebagaimana dulu aku merasakannya”, yang lain bekata, “Bacaan al-qur’an tidak membekas dalam jiwaku”, dan yang lain juga berkata, “Aku jatuh ke dalam kemaksiatan dengan mudah”, padahal dulu ia takut berbuat maksiat.
Dampak penyakit ini nampak pada mereka, diantara ciri-cirinya adalah :
1. Mudah terjatuh dan terjerumus dalam kemaksiatan dan hal-hal yang diharamkan (Allah), bahkan dia terus melakukannya padahal dahulu dia sangat takut terjerumus kedalamnya.
2. Merasakan kerasnya hati, nasehat tentang kematian tidak berbekas sama sekali dalam hatinya, demikian juga melihat jenazah dan kuburan.
3. Tidak mantap dalam beribadah, sehingga anda (akan mendapati orang seperti ini) tidak menemukan “kelezatan” dalam menunaikan sholat, membaca al-Qur’an, dan lainnya, serta malas (melakukan) ketaatan dan ibadah, bahkan mengabaikannya dengan mudah, padahal ia dulu giat serta bersemangat melakukannya.
4. Lalai dari berdzikir kepada Allah, serta tidak menjaga lagi dzikir-dzikir syar’iyah (seperti dzikir pagi dan petang, pent) padahal dulu ia giat dan bersemangat melakukannya.
5. Memandang rendah kebaikan dan tidak perhatian kepada amal kebajikan yang mudah dilakukan padahal dulu dia orang yang paling teguh dan rajin.
6. Selalu dibayangi oleh rasa takut pada waktu tertimpa musibah atau problematika, padahal dulu ia tegar serta teguh imannya kepada takdir Allah.
7. Hatinya cenderung kepada dunia dan sangat mencintainya hingga ia akan merasa sangat sedih sekali jika ada sesuatu dalam kehidupan dunia ini yang luput darinya, padahal dulu ia sangat terikat kepada akhirat dan kepada kenikmatan yang ada di dalamnya, Allah Ta’ala telah berfirman :
“Tetapi kalian memilih kehidupan dunia, sedang kehidupan akherat adalah lebih baik dan lebih kekal.” ( al-A’la : 16-17 )
8. Terlalu berlebihan dalam memperhatikan kehidupan dunianya baik dalam masalah makan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan kendaraan, padahal dulu ia lebih mengutamakan untuk mempercantik akhlaqnya dan untuk komitmen serta berpegang teguh pada agama.
Masih banyak lagi sebenarnya dampak penyakit ini. Dan sungguh Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- telah berlindung dari al-Haur ba’da al Kaur. Dari ‘Abdullah bin Sarjas –radhiallahu anhu- ia berkata,
“Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- jika bepergian berlindung dari kesukaran perjalanan, kesedihan saat kembali dan dari al-Haur ba’da al Kaur (lemah/malas dalam beribadah setelah dulunya semangat/rajin).”
Dalam riwayat at-Tirmidzi :
“… dan dari al haur ba’da al kaun..”.
Berkata Nawawi, “Kedua hadits ini adalah hadits yang disebutkan oleh para ahli hadist, ahli bahasa dan ahli gharibul hadits/lafadh asing dalam hadits.” (Syarh Muslim 9/119)
Lalu apakah makna al-Haur ba’da al-Kaur?